Contributors

Misteri Ritual Haji di Gunung Bawakaraeng

Misteri Ritual Haji di Gunung Bawakaraeng - Gunung Bawakaraeng, adalah gunung yang terletak di kawasan  Lembanna, Kabupaten Gowa, provinsi Sulawesi Selatan. Dari Makassar berjarak sekitar 3 jam lewat jalur darat. Secara ekologis, gunung ini memiliki posisi penting karena menjadi sumber cadangan air untuk Kabupaten Gowa, Kota Makassar, Kabupaten Bantaeng, Kabupaten Bulukumba dan Kabupaten Sinjai. Bawakaraeng bagi masyarakat sekitar juga memiliki arti tersendiri. Bawa dalam bahasa Makassar berarti Mulut, Karaeng berarti Tuhan. Jadi Gunung Bawakaraeng berarti sebagai Gunung Mulut Tuhan. Yang jelas, gunung Bawakaraeng bukanlah mulut tuhan dalam arti yang sebenarnya.

Bawakaraeng terdiri dari bukit - bukit yang berderet megah. Bukit tertinggi memiliki ketinggian sekira 2.700 meter di atas permukaan laut. Untuk mendaki sampai ke puncak, kita harus menyusuri dua bukit dan sepuluh pos jalur pendakian. Pepohonan  beragam jenis, kabut tipis, sungai sungai kecil, dan berbagai keindahan alam lainnya akan menghiasi setiap jalur pendakian dari pos ke pos hingga tiba ke puncak.

Pada tahun 2004 silam, musibah longsor pernah terjadi di salah satu bukit Bawakaraeng. Bukit itu kelihatan jika kita berjalan menurun dari pos 7 menuju pos 8, seperti gunungan ice cream yang sudah digigit. Akibat longsor itu, pos 8 lama yang berbentuk seperti padang luas dengan ilalangnya harus berganti dengan pos 8 baru yang gersang, dekat dengan telaga Bidadari yang kering kerontang, hanya menyisakan air yang cokelat dan berlumpur. Longsor itu juga menimbun kampung - kampung kecil di sekitar lereng Bawakaraeng, tanpa sisa. Lumpur bawaannya malah sempat membuat khawatir sebagian orang karena dianggap tekanannya akan merobohkan bendungan Bili - Bili, tapi syukurlah, hal itu tidak menjadi kenyataan.

Gunung Bawakaraeng, gunung yang terletak di kawasan kampung Lembanna, Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan. Dari Makassar berjarak 3 jam lewat jalur darat. Secara ekologis gunung ini memiliki posisi penting karena menjadi sumber penyimpan air untuk Kabupaten Gowa, Kota Makassar, Kabupaten Bantaeng, Kabupaten Bulukumba dan Kabupaten Sinjai. Bawakaraeng bagi masyarakat sekitar memiliki arti sendiri. Bawa artinya Mulut, Karaeng artinya tuhan. Jadi Gunung Bawakaraeng diartikan sebagai Gunung Mulut tuhan. Yang jelas, gunung Bawakaraeng bukanlah mulut tuhan dalam arti yang sebenarnya.

Bawakaraeng terdiri dari bukit - bukit yang berjejer megah. Bukit tertinggi memiliki tinggi sekira 2.700 meter di atas permukaan laut. Untuk mendakinya sampai ke puncak, kita harus menyusuri dua bukit dan 10 pos jalur pendakian. Pepohonan lebat beragam jenis, kabut tipis, sungai kecil, dan pelbagai keindahan alam lainnya akan menghiasi setiap jalur pendakian dari pos ke pos hingga ke puncak.

FENOMENA MISTIS

Pada 1980 - an, seorang pendaki wanita bernama Noni bunuh diri di pos 3 Bawakaraeng. Dia menggantung dirinya di sebuah pohon. Dugaan penyebabnya karena patah hati. Pohon itu masih berdiri hingga kini. Bentuknya angker, seangker kejadian di baliknya. Batangnya besar bercabang, daunnya habis tak tersisa. Bagi yang sudah mendaki Bawakaraeng, pasti kenal betul dengan pohon itu karena pohon itulah yang menjadi penanda pos 3.

Karena alasan mistis, para pendaki enggan mengabadikan pohon itu dalam bentuk foto maupun video. Bahkan mereka juga enggan singgah di pohon itu. Beberapa kesaksian menjelaskan bahwa kejadian aneh terjadi waktu mereka singgah di pohon itu: tiba - tiba hujan, angin kencang, dan lainnya, entahlah!

RITUAL DI BAWAKARAENG

Setiap hari raya Idul Adha, banyak sekali warga dari berbagai daerah menuju ke puncak gunung Bawakaraeng untuk melakukan salat Idul Adha dan ritual. Mereka datang sehari sebelum hari raya dan menginap di puncak dengan bekal dan pakaian hanya seadanya. Esok subuhnya, mereka pun memulai salat Idul Adha dan ritual. Mereka biasanyamemberikan sesajian - sesajian untuk mencari berkah serta keselamatan, seperti: gula merah untuk mencari manisnya dunia, kelapa untuk mencari nikmatnya dunia, lilin untuk mencari terangnya dunia, dan sebagainya.

Banyak pendapat yang menyatakan bahwa warga yang ke puncak Bawakaraeng untuk melaksanakan ibadah haji, tapi pendapat tersebut dibantah oleh Tata Rasyid, seorang penjaga dan pemerhati Bawakaraeng. Dia menegaskan, " Yang benar itu warga yang naik ke puncak untuk melaksanakan lebaran haji, bukan naik haji. Naik haji itu di Mekkah."

Karena masih penasaran, saya berusaha mencari informasi seputar masyarakat Bawakaraeng saat mendapatkan akses internet setelah kembali ke Makassar. Salah satu tulisan yang saya temukan nangkring di laman Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM, di mana tertulis tentang ujian tesis seorang mahasiswa bernama Mustaqiem Pabajjah pada bulan Maret 2010 yang mengambil judul “Medan Kontestasi Masyarakat Lokal: Kajian terhadap Keberadaan Komunitas Haji Bawakaraeng di Sulawesi Selatan.” Tulisan pendek tersebut secara ringkas merangkumkan tesis yang digarap Mustaqiem. Menurut Mustaqiem, ritual haji Bawakaraeng merupakan bentuk perlawanan dari submasyarakat terhadap agama resmi yang dominan, Islam. Sebelum Islam masuk, ritual religius di atas Gunung Bawakaraeng sudah dilakukan oleh masyarakat sekitar. Sebagai bentuk adaptasi, ritual tersebut tetap dijalankan setelah Islam masuk. Tidak banyak hal baru yang saya dapat dari tulisan ini.
Dalam tesis Mustaqiem juga disebutkan, masyarakat Bawakaraeng percaya bahwa kehajian mereka sudah diwakili oleh Syaikh Yusuf, salah seorang penyebar Islam paling terkemuka di Sulawesi Selatan. Membaca ini, saya jadi teringat cerita guide kami, Pak Udin. Saat itu bus tengah melaju di jalanan Kota Makassar saat itu di sebelah kanan kami melihat sebuah kompleks bangunan yang luas bertuliskan “Syaikh Yusuf Discovery.” Itulah makam Syaikh Yusuf yang mengandung seribu misteri. Masyarakat percaya bahwa Syaikh Yusuf ini tidak hanya memiliki satu makam. Di Afrika Selatan konon kabarnya pernah ditemukan makam Syaikh Yusuf pula. Saya tidak tahu bagaimana seseorang yang hanya memiliki satu tubuh bisa diyakini memiliki lebih dari satu makam. Tapi tampaknya kepercayaan seperti itu cukup umum di kalangan masyarakat tradisional indonesia. Kisah tentang para wali (orang yang dekat dengan Tuhan, biasanya memiliki keistimewaan tertentu di luar jangkauan logika) sering dibumbui mitos bahwa makam mereka tersebar di banyak tempat, tak terkecuali Syaikh Yusuf.
Tulisan-tulisan lain yang saya temukan tidak terlalu banyak memberikan informasi. Namun ada bagusnya saya tuliskan di sini sebagai tambahan. Dari namanya, Gunung Bawakaraeng sudah menampakkan kemistisan. Dalam bahasa Makassar, Bawa berarti mulut, dan Karaeng berarti Tuhan. Jadi Gunung Bawakaraeng memiliki arti Gunung Mulut Tuhan. Masyarakat Bawakaraeng yakin bahwa Gunung Bawakaraeng merupakan lokasi berkumpulnya para wali. Cerita mistis yang menyebar di masyarakat seputar gunung tersebut beraneka ragam. Alkisah, pada zaman kerajaan Gowa, ada seorang ulama yang naik haji lewat Gunung Bawakaraeng dengan dibantu malaikat. Ada pula cerita lain yang mengatakan bahwa zaman dulu ada seseorang yang sangat ingin naik haji tapi tidak mampu. Dia lalu mendapatkan bisikan untuk naik ke Gunung Bawakaraeng sebagai ganti naik haji. Setiap tanggal 10 Zulhijah, masyarakat sekitar daerah itu melaksanakan salat Idul Adha di puncak Bawakaraeng (dan/atau di puncak Lompobattang di sebelahnya). Meski tidak jarang jatuh korban tewas akibat tergelincir dan masuk jurang, namun ritual tersebut tetap dipelihara sampai sekarang.

1 comments:

  1. Gunung Bawa Karaeng sangat disakralkan. Gunung Bawa Karaeng diyakini sebagai sumber kehidupan dan perlindungan bagi masyarakat di sekitarnya. Menurut salah seorang kepala desa di Sinjai Barat, konon untuk menghormati Gunung Bawa Karaeng pada jaman dahulu batu nisan kuburan dicondongkan menghadap/mengarah ke Puncak Gunung Bawa Karaeng. Hal ini masih ditemukan di Manipi, Sinjai Barat, sekitar tahun 1990an. Sekarang kebanyakan batu nisan kuburan menghadap ke Ka'bah, Mekah.

    ReplyDelete