Contributors

Bissu, Manusia Berselimut Mistik

http://lontaraproject.com/wp-content/uploads/2012/09/0001-2-Copy.jpgBissu, Manusia Berselimut Mistik - Bissu atau kelompok orang orang mistik bissu ini berada di kabupaten Pangkep. Mereka masih menjaga teguh tradisi dan peran serta kebiasaan turun temurun nilai-nilai budaya bugis klasik dan diilustrasikan sebagai manusia setengah dewa yang mempunyai kekuatan Supranatural.Mereka memanfaatkan hubungan dengan dunia ghaib dan bertindak sebagai mediator dari roh yang memasukinya. Setelah kerasukan barulah mereka dapat melaksanakan kegiatan upacara ritual, seperti Maggiri, yakni sebuah ritual menikam diri sendiri.

Selain untuk perhelatan acara di kerajaan, peran komunitas bissu juga sangat dominan pada kegiatan adat seperti mappalili atau turun sawah. Upacara tersebut dilakukan selama tujuh hari tujuh malam dengan membaca mantra mantera yang biasa disebut dengan Mattesu Arajang, yakni semacam ritual adat untuk memohon restu Dewata dilangit. Menurut pendapat para bissu, hanya dengan restu para Dewata, para petani dan masyarakat dapat memanen hasil tanam yang baik. Oleh karenanya, acara mattedu Arajang juga dipandang sakral oleh masyarakat tradisional Bugis. Sekedar diketahui bahwa komunitas Bissu pangkep tergolong Bissu Dewatae, sebuah komunitas Bissu yang amat dihormati oleh komunitas bissu lainnya di tanah bugis. Sekarang ini Komunitas Bissu pangkep di pimpin oleh Puang Matoa SAIDI yang berkedudukan di ‘istana’ ArajangE Segeri Pangkep.

Bagi masyarakat di daerah Sulawesi Selatan, istilah nama Bissu merupakan sebuah istilah yang tidak asing di telinga mereka. Namun tetapi, apabila istilah Bissu ini di pertanyakan pada warga berdarah Jawa, atau Kalimantan, Sumatra, dan daerah – daerah lain di luar dari Sulawesi Selatan, pastilah istilah tersebut merupakan sebuah kata yang sangat asing bagi mereka.

Komunitas Bissu ini sering disalah artikan oleh sebagian masyarakat. Komunitas ini dianggap identik dengan istilah calabai, yaitu seorang laki – laki yang berdandan layaknya seorang perempuan. Namun fungsi, peran serta kedudukan Bissu ini dalam kebudaan bugis yang sesungguhnya tidak demikian. Ada juga yang menghubungkan keunikan yang dimiliki oleh kelompok Bissu ini dengan dengan adat serta kepercayaan lokal yang disebut Tolotang, Hal yang mana dibantah secara nyata oleh komunitas Amparita di kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan yang menjadi representasi dari  penganut Tolotang dalam suku Bugis.

Keunikan lain dari orang orang Bissu itu sendiri bisa disaksikan pada setiap musim tanam, kelompok Bissu selalu jadi penentu waktu tanam yang lebih baik, dibanding para pakar dan ahli pertanian. Ritual adat ini di namakan mappasili atau berarti ritual mencuci dan mensucikan benda bersejerah Bissu. Kemudian setelah itu dilanjutkan dengan warga untuk turun ke sawah dan ladang. Sudah menjadi kepercayaan warga, mereka tidak boleh turun ke sawah sebelum para bissu ini menggelar ritual mappasili. begitu juga pada saat menangani orang yang sakit. Bissu mengambil peranan  menjadi sandro (pengobat). Kita juga sering mendengar kisah, mereka itu adalah orang yang kebal dan tak mempan dengan tusukan dan tikaman keris atau benda tajam lainnya.

Bagi orang asing yang ingin menyaksikan sekaligus ingin mengabadikan momen upacara adat itu, maka mereka di haruskan untuk meminta izin terlebih dahulu. Namun meminta izin tersebut bukan ditujukan kepada orang atau atasan di wilayah itu. Namun, meminta izin itu harus di bimbing oleh ketua / pemimpin Bissu. Orang asing yang ingin meminta izin itu diharuskan masuk ke dalam suatu ruangan tertentu dengan didampingi oleh Puang Matoa atau pimpinan Bissu. Di dalam ruangan yang berukuran satu kali empat meter itu, hanya terlihat secarik kain yang berwarna merah yang menutupi dinding ruangan tersebut. Di dalam ruangan juga terlihat asap dari dupa – dupa yang dibakar. Setelah Puang Matoa membaca mantra – mantra tertentu, maka selesailah sudah prosesi permintaan izin untuk mengabadikan ritual adat yang sakral itu.

Bissu sendiri juga tahu betul, pembawaan mereka yang terlihat " sakti " itu, adalah sebuah keajaiban yang diturunkan oleh dewata. Maka dari itu, mereka harus tetap suci dan tidak boleh kawin. Semua dari mereka adalah kaum waria, dalam artian yang lebih dalam, mereka itu harus menjaga kesuciannya. Dalam kitab sastra terkenal bertajuk La Galigo, Bissu dipandang sebagai manusia suci dan keturunan para Dewa. 

Dalam struktur kerajaan di Sulawesi Selatan jaman dahulu, Bissu adalah seorang penasihat spiritual dan rohani para raja yang berkuasa. Begitu sentralnya figur Bissu bagi masyarakat ini, sehingga dalam setiap upacara ritual adat yang mereka laksanakan, Bissu dijadikan sebagai pemimpinnya.

Diantara bentuk upacara adat yang kini masih tersisa dan tetap dipertahankan adalah Mapeca Sure dan Masongka Bala, yakni sebuah upacara adat memohon keselamatan bagi seluruh warga masyarakat dan para penguasa kerajaan. Ritual Massongka Bala adalah sebuah ritual yang sudah sangat lama sekali. Sejak adanya manusia, sejak itu pula Massongka Bala dilangsungkan dan yang memimpin acara Massongka Bala itu adalah orang orang dari golongan Bissu. Dalam sejarahnya, Bissu menetapkan waktu dari upacara yang dilihami wahyu dari Tuhan yang disebut juga dengan istilah eppa sulapa ipasabbi pole yawa pole yase. Disini Bissu menjadi mediator  antara manusia dengan Tuhan.

Ada juga beberapa versi cerita masyarakat tentang komunitas Bissu ini. Ada yang mengatakan, untuk tetap menjaga kesucian raganya, para Bissu menuntaskan hasrat biologisnya dengan cara menghayalkan melakukan hubungan intim. entah bagaimana caranya, hanya dengan membayangkan, mereka sudah puas layaknya melakukan hubungan yang sebenarnya. 

Ada juga cerita lain yang mengatakan, kalau mereka tidak melakukan hubungan intim dengan manusia, melainkan dengan makhluk makhluk dari alam ghaib. Benar atau tidaknya cerita yang beredar tentang Bissu ini, tidak bisa dipastikan dengan jelas.

0 comments:

Post a Comment